06 April 2017

Perempuan di Titik Nol



Baru saja selesai dengan perempuan di titik nol(Sa’adāwī 1989), saya mengenal novel ini dari sebuah perpustakaan di LSM perempuan tempat dulu saya pernah belajar dan bekerja, saat itu buku ini menjadi salah satu novel yang direkomendasikan untuk di baca saat seorang perempuan memutuskan untuk belajar dan berjuang sebagai aktor perempuan dalam arena perlawanan terhadap hegemoni patriarki.

Sudah cukup lama saya membaca novel ini sampai lupa pada isinya dan akhirnya demi merayakan hari perempuan bulan Maret lalu, saya meminjam buku ini dari perpustakaan kampus dan membaca nya ulang.
  
Titik nol mungkin saja berarti titik dimana seorang perempuan merasa hidup nya sudah di mulai lagi untuk kesekian kalinya dengan perasaan cinta yang berbunga – bunga tetapi pada akhirnya mendapati diri tetap kembali pada titik yang sama. Titik nol, titik dimana laki – laki dengan berbagai kamuflase (cinta, nafsu, agama bahkan atas nama revolusi) selalu berakhir sebagai yang mendefinisikan dan memperkosa perempuan sampai akhirnya menjadikan perempuan sebagai pelacur dalam level dan bayaran (mungkin juga tidak dibayar) yang rupa rupa.

“Saya tahu bahwa profesi saya telah diciptakan oleh lelaki, dan bahwa lelaki menguasai dua dunia kita, yang di bumi ini dan yang di alam baka. Bahwa lelaki memaksa perempuan menjual tubuh mereka dengan harga tertentu, dan bahwa tubuh paling murah dibayar adalah tubuh sang isteri. Semua perempuan adalah pelacur dalam satu atau lain bentuk. Karena saya seorang yang cerdas, saya lebih menyukai menjadi seorang pelacur yang bebas daripada menjadi seorang isteri yang diperbudak.” Firdaus, h.133
Novel ini juga melayangkan ingatan saya pada pesan terselubung yang di ajarkan pada perempuan pejuang, untuk tidak terlibat dalam kegagalan logika berfikir hanya karena mengalami perasaan yang mereka kira bahagia dan labeli dengan "cinta". Karena cinta sering menjadi senjata laki-laki menarik perempuan dari pergerakannya, dan pernikahan adalah penjara legal yang membunuh kemerdekaan perempuan. Karena itu, setiap kali seorang perempuan menemukan dirinya merasai "cinta", ingat ingatlah selalu untuk tidak meninggalkan isi otak dan hati di dalam keranjang ketololan yang sama.
“Tetapi di dalam cinta saya memberikan segala kemampuan, upaya, perasaan, emosi saya yang paling dalam. Seperti seorang suci saya berikan segalanya yang saya miliki tanpa memperhitungkan ongkosnya. Saya tidak minta apa – apa , kecuali mungkin hanya satu hal. Untuk diamankan oleh cinta dari segalanya. Untuk menemukan diri saya kembali, untuk mengenali diri sendiri yang telah hilang. Untuk menjadi makhluk manusia yang tidak dilihat orang dengan caci-makian, atau dengan pandangan rendah, tetapi dihormati, dan disukai dan dijadikan merasa utuh”. Firdaus, h.125
Pada akhirnya, bagi perempuan pejuang yang sudah memutuskan untuk menikah, yang sudah menemukan rekan tidur yang satu idealisme dengannya atau setidaknya satu perjuangan, novel ini menjadi inspirasi untuk terus menerus mencari bentuk memposisikan diri di dalam institusi pernikahan di hadapan adat dan tradisi.
Yah, di hadapan adat dan tradisi adalah bagian berat perjuangan perempuan Indonesia, karena rupanya menjadi the second sex di hadapan agama saja masih belum cukup mamen!!

Jalan panjang kawan, jalan panjang...  
“Sebab kebenaran itu selalu mudah dan sederhana. Dan dalam kesederhanaannya itu terletak kekuasaan yang ganas. … Dan untuk sampai pada kebenaran berarti bahwa seseorang tidak lagi merasa takut mati. Karena kematian dan kebenaran adalah sama dalam hal bahwa keduanya mensyaratkan keberanian yang besar bila seorang ingin menghadapi mereka.” Firdaus, h.149

Tidak ada komentar: