02 Juni 2016

Hotmix vs hot damn


Kali ini ,,,
Perjalanan menyusuri  "Tuan Atas Tanah, Tuan Atas Jantung" mendapat bala bantuan dari surgawi (begitu peri gosip menyebut kedatangan om brewok untuk membantu proses pengumpulan data ku kali ini). 

Peri gosip yang juga memaksa menyebut diri sebagai putri Shanghai dan sering mengaku sebagai cindy ini menyebut om brewok sebagai bala bantuan dari surgawi karena titik - titik sulit di daerah penelitian akhirnya ku jangkau bersama om brewok yang demi secuil pengetahuan alami - pengetahuan yang lahir dari tanah dan langit - seperti biasa tidak gentar menghadapi badai bahkan hujan petir sekalipun, apalagi jalanan terjal yang selalu membuatnya memaki tuan Bupati dimanapun engkau berada.

Kali ini, sakit hatinya bertambah,,, karena sepulang dari mengunjungi petani di sebuah desa yang jauh di atas gunung ,,, kami harus pulang mengantar sepeda motor yang kami pakai ke daerah yang katanya adalah daerah elit, “bupati tinggal disana cuy” dan jelas saja, tidak bisa disamakan!!! Jalanan ke rumah bupati pasti “hotmix” sementara jalanan ke rumah dan kebun petani selalu saja “hot damn”.


Ini pelajaran analisis standar, pertama kali kupelajari di organisasi tempat aku dan putri Shanghai menempa diri. Jalan dan infrastruktur lainnya hanya “dibagusin” kalau ada pejabat tinggal disana, berkali – kali turun untuk analisa sosial, selalu saja kenyataan ini yang ku temui.  Mungkin Cuma bisa di rubah, kalau setiap bupati yang menjabat di paksa buat rumah di kebun -  semacam rumah dinas bupati begitulah yang posisinya jauh di gunung di balik kebun, tapi yang dia punyai ya Cuma rumah dinas itu, jangan terus malah ekspansi dan membeli lahan disekitarnya. Dan jalan kebun itu mestinya ada jalur untuk pejalan kaki, binatang – kuda dan anjing – dan kendaraan. Supaya petani sehat bisa tetap jalan kaki santai ke kebun dan terhindar dari sakit jantung, dan hubungan petani dengan anjing penjaga kebun dan kuda pengangkut air tetap terjalin dengan baik.

Soal jalan ini, memang memancing panas dalam, Ernst Vatter dalam bukunya ata Kiwan sempat menuliskan tentang pribumi Lamaholot yang “malas” lewat jalan yang di bangun belanda karena “malas” ketemu belanda yang bisa saja mood nya lagi pengen nyiksa. Pasalnya:
Masyarakat pribumi harus bayar pajak 4-5 gulden pertahun oleh laki-laki dewasa yang mampu bekerja. Dan harus bekerja untuk umum selama 24 hari dalam setahun tiap kampung (herendienst) terutama untuk membuat dan memelihara jalan. (Vatter, 1984, p. 24)
Diakhir diskusi dengan om Brewok  jelang pilkada Flotim 2017 ini, akhirnya kami putuskan, kami akan sedikit berpikir melepas jubah golput kalau ada Tuan/Puan Bupati yang mau membangun rumah dinasnya di kebun. Selain demi memperbaiki jalan ke kebun, juga demi kemerdekaan dari Kebun untuk sebuah kemerdekaan kaum kecil dari atas meja makan!!!

PSomiKedan
2 Februari 2016
             

Daftar Pustaka

Vatter, E. (1984). Ata Kiwan. Ende: Percetakan Arnoldus.


2 komentar:

Anonim mengatakan...

Ijin posting di grup pemuda werang gere sepupu

Petronela mengatakan...

Oke sepupu....sip sip