Baru
saja selesai dengan perempuan di titik nol(Sa’adāwī
1989),
saya mengenal novel ini dari sebuah perpustakaan di LSM perempuan tempat dulu
saya pernah belajar dan bekerja, saat itu buku ini menjadi salah satu novel
yang direkomendasikan untuk di baca saat seorang perempuan memutuskan untuk
belajar dan berjuang sebagai aktor perempuan dalam arena perlawanan terhadap hegemoni
patriarki.
Sudah
cukup lama saya membaca novel ini sampai lupa pada isinya dan akhirnya demi
merayakan hari perempuan bulan Maret lalu, saya meminjam buku ini dari
perpustakaan kampus dan membaca nya ulang.
Titik
nol mungkin saja berarti titik dimana seorang perempuan merasa hidup nya sudah
di mulai lagi untuk kesekian kalinya dengan perasaan cinta yang berbunga –
bunga tetapi pada akhirnya mendapati diri tetap kembali pada titik yang sama.
Titik nol, titik dimana laki – laki dengan berbagai kamuflase (cinta, nafsu,
agama bahkan atas nama revolusi) selalu berakhir sebagai yang mendefinisikan
dan memperkosa perempuan sampai akhirnya menjadikan perempuan sebagai pelacur
dalam level dan bayaran (mungkin juga tidak dibayar) yang rupa rupa.
“Saya tahu bahwa profesi saya telah diciptakan oleh
lelaki, dan bahwa lelaki menguasai dua dunia kita, yang di bumi ini dan yang di
alam baka. Bahwa lelaki memaksa perempuan menjual tubuh mereka dengan harga
tertentu, dan bahwa tubuh paling murah dibayar adalah tubuh sang isteri. Semua
perempuan adalah pelacur dalam satu atau lain bentuk. Karena saya seorang yang
cerdas, saya lebih menyukai menjadi seorang pelacur yang bebas daripada menjadi
seorang isteri yang diperbudak.” Firdaus, h.133
Novel ini juga melayangkan ingatan saya pada pesan
terselubung yang di ajarkan pada perempuan pejuang, untuk tidak terlibat dalam kegagalan logika berfikir hanya karena mengalami perasaan yang mereka kira bahagia dan labeli dengan "cinta". Karena cinta sering menjadi
senjata laki-laki menarik perempuan dari pergerakannya, dan pernikahan adalah penjara
legal yang membunuh kemerdekaan perempuan. Karena itu, setiap kali seorang perempuan menemukan dirinya merasai "cinta", ingat ingatlah selalu untuk tidak meninggalkan isi otak dan hati di dalam keranjang ketololan yang sama.
“Tetapi di dalam cinta saya memberikan segala
kemampuan, upaya, perasaan, emosi saya yang paling dalam. Seperti seorang suci
saya berikan segalanya yang saya miliki tanpa memperhitungkan ongkosnya. Saya
tidak minta apa – apa , kecuali mungkin hanya satu hal. Untuk diamankan oleh
cinta dari segalanya. Untuk menemukan diri saya kembali, untuk mengenali diri
sendiri yang telah hilang. Untuk menjadi makhluk manusia yang tidak dilihat
orang dengan caci-makian, atau dengan pandangan rendah, tetapi dihormati, dan
disukai dan dijadikan merasa utuh”. Firdaus, h.125
Pada akhirnya, bagi perempuan pejuang yang sudah memutuskan
untuk menikah, yang sudah menemukan rekan tidur yang satu idealisme dengannya atau setidaknya satu perjuangan, novel
ini menjadi inspirasi untuk terus menerus mencari bentuk memposisikan diri di
dalam institusi pernikahan di hadapan adat dan tradisi.
Yah, di hadapan adat dan tradisi adalah bagian berat
perjuangan perempuan Indonesia, karena rupanya menjadi the second sex di
hadapan agama saja masih belum cukup mamen!!
Jalan panjang kawan, jalan panjang...
“Sebab kebenaran itu selalu mudah dan sederhana. Dan
dalam kesederhanaannya itu terletak kekuasaan yang ganas. … Dan untuk sampai
pada kebenaran berarti bahwa seseorang tidak lagi merasa takut mati. Karena
kematian dan kebenaran adalah sama dalam hal bahwa keduanya mensyaratkan
keberanian yang besar bila seorang ingin menghadapi mereka.” Firdaus, h.149
Tidak ada komentar:
Posting Komentar