Prauw op weg van Adonara naar Larantoeka in de Straat van Flores |
Masih dalam edisi hantu jembatan akar ^_^ alias Transformasi dan Sosiologi Pedesaan. Besok ujian dan hari ini aku sudah bertekad menyelesaikan membaca artikel, merefleksikannya dan menuliskannya - baca; membakar artikelnya, merebus dan meminum airnya-untuk mendapatkan hak atas kalimat sakti itu sebelum melangkah ujian besok pagi, kalimat yang sudah di ajarkan dari orok oleh laki-laki terhebat dalam hidup ku "Bapak".
"Lewotana Adonara Pana Molo Go Dore"
Identitas desa bukan sesuatu yang absolut. Menurut dosen ku ibu Leontin (dosen canggih yang bisa bahasa Indonesia dan kalau kau tak punya argumentasi kuat sebaiknya tak mencari masalah dengannya atau kau akan di sulap menjadi kepiting rebus saat itu juga, gak pake lama); ada dua identitas pada diri setiap orang, identitas inti yang di bawa dari lahir dan identitas yang berubah seiring perubahan yang terjadi di sekitarnya. Hal ini juga berlaku untuk desa, identitas desa ada yang asli dan tak bisa dirubah, yang membedakannya dengan kota atau desa lain, tetapi ada juga identitas desa yang berubah akibat persentuhan dengan desa lain atau kota. Salah satu aktifitas yang merubah desa adalah; Migrasi ^___^ *senyum-senyum sambil menyadari diri sebagai migrant* terkait topik berikut ini:
Migrasi dan pertemuan desa dengan kota
Migrasi di Adonara bukan hal baru, karena beberapa cerita kuno menyebutkan bahwa ada beberapa suku yang mengaku bahwa mereka adalah suku pendatang.
Dalam hal ini, migrasi yang di bicarakan menyangkut perpindahan penduduk baik dari desa ke desa, dari desa ke kota, dari kota ke kota atau dari kota ke desa dalam lingkup sebuah negara atau antar negara.
Berikut ini beberapa hal terkait migrasi ;
faktor pendorong migrasi
Berbeda dengan Brown (2009) yang menggaris besarkan semua faktor penyebab migrasi kedalam; globalisasi, kemajuan teknologi khususnya transportasi, dukungan keluarga, penuaan populasi dan ketidakseimbangan ekonomi, Lightfoot (2005) yang mengambil kasus di Turki, pada tulisannya mulai mengelompokkan faktor penyebab migrasi ke dalam faktor pendorong dan penarik (bahasa Lamaholot nya push and pull factor). Faktor pendorong adalah faktor yang mengakibatkan seseorang kabur dari tempat asalnya, misalnya; kemiskinan di desa (faktor ekonomi), reformasi tanah atau revolusi hijau yang membuat posisi petani menjadi sulit atau karena konflik maupun ancaman terorisme.
Ditambahkan Monique (2004), migrasi juga bisa di dorong oleh; tidak adanya kesempatan kerja, pembuktian kedewasaan (seperti tradisi merantau di Padang) dan karena semakin tersedianya jaringan sosial yang menyediakan informasi tentang migrasi.
Untuk kasus Adonara misalnya karena kekeringan ladang, dan profesi petani yang mulai gak ngetrend,,,,kamsudnya kegiatan berkebun yang dianggap sudah tidak menghasilkan, bisa juga karena tidak semua orang punya tanah di lewo dan juga karena semakin tersedianya informasi tentang daerah-daerah tujuan seperti Malaysia dan Batam, itu untuk migrasi dari desa ke kota. Kalau migrasi dari desa ke desa ada kakekku Kopong Teron yang ganteng yang migrasi dari desa Redong ke Lamaleka yang jauh di atas bukit ^_^ yang kabarnya, alasannya bermigrasi adalah untuk "sebak watak bele" (masih perlu pembahasan khusus, karena selain konflik, sebak watak bele adalah satu kalimat kuno sederhana yang mendasari setiap orang di Adonara untuk merantau dan sepertinya kalimat ajaib ini merangkum semua pendapat ahli di atas tadi). Untuk contoh migrasi kota-kota dan kota-desa saya serahkan sepenuhnya contoh dan analisanya pada pembaca (udah mulai bete dengan keyboard)
Faktor berikutnya, faktor penarik, adalah faktor yang dimiliki kota atau tempat tujuan yang membuat orang tertarik untuk datang mendekatinya bagai kumbang mendekati bunga (hedewwwwhhhh, exam syndrome; dimulai dengan puitis dan berakhir dengan tragis). Diantara faktor tersebut adalah keinginan untuk ikut menikmati serpis publik di tempat tujuan berupa kesehatan dan pendidikan.
Faktor penarik lainnya adalah; industrialisasi di kota yang menciptakan lapangan kerja, kesempatan untuk meraih rupiah dan yang paling sering terjadi seperti di Adonara adalah karena adanya kenalan atau keluarga yang sudah sampai di tempat tersebut dan kehidupannya dilihat menjadi lebih baik, paling tidak bisa hidup lah ^_^. Yang pasti, orang tidak bermigrasi hanya untuk narsis-narsissan atau cuma untuk melihat salju (dalam hati; guweeeeeeee bangetttttttttttttthhhhhhhh), terutama kami putra dan putri bangsa Indonesia ini, tambah satu India gak jelas yang ngefans berat sama Palembang:
pengaruh migrasi
Migrasi baik di tingkat desa, lokal maupun internasional memberi efek bagi daerah asal, diantaranya adalah;
1. Dalam bidang ekonomi, migran memberikan sumbangan berbentuk devisa atau tambahan pendapatan terhadap keluarga di kampung halaman. Ada juga dampak ekonomi yang buruk, ketika migrasi sudah mulai menumpuk di satu tempat sementara pekerjaan dan penghidupan jadi malah makin maju mundur gak jelas, maka terciptalah apa yang di sebut Karpat (1976) sebgai shanty town dan daerah kumuh. Keduanya sama-sama menggambarkan kemiskinan, hanya bedanya di daerah kumuh seperti banyak kita jumpai di Jakarta itu sudah tidak ada lagi harapan untuk maju, karena miskin sudah membudaya dan membudidaya.
2. Pengaruh lain migrasi adalah pertemuan budaya yang terjadi yang di bawa orang yang kembali dari bermigrasi (Monique, 2004), misalnya; anak-anak rantau yang pulang dari kota besar datang masuk kampung pakai celana pancing yang super pendek, atau keengganan mengkonsumsi makanan lokal. Nah, pertemuan budaya ini bukan hanya menciptakan sport jantung orang-orang tua di kampung, karena bukan cuma soal celana yang di pancing tetapi merupakan representasi dari pergeseran nilai-nilai yang tadi nya sudah dengan keringat darah di tanamkan orang tua yang tiba-tiba memuai di makan modernisasi (nah kumat lagi puitisku).
Perang budaya ini bukan cuma terjadi di tempat asal saja, tetapi juga di tempat tujuan. Nah, untuk yang ini, aku sudah berpengalaman, tak ada pisang rebus, tak ada pepayaaaaaaaaaaa,,,hellowww di Lamaleka makan pagi dan siang ku pepaya bulat-bulat ku telan, disini sudah sembilan bulan tak juga kelihatan tanda-tanda pepaya (lha,,,jadi curhat) ^__^.
Nah, terhadap pertemuan budaya ini ada tiga kemungkinan yang dapat terjadi;
pertama; budaya lokal memaklumi budaya pendatang atau budaya pendatang menyesuaikan dengan budaya daerah tujuan dan akhirnya terjadi asimilasi, contoh perubahan seperti ini ada pada transnasional migrasi (migrasi antar negara) yaitu terbentuknya identitas turunan dari identitas lama (Kearney, 2000). Misalnya orang-orang Oaxacan (Amerika Latin) yang pindah ke California yang kemudian menyebut diri sebagai Oaxocalifornia karena identitas mereka sudah tidak lagi murni Oaxacan tetapi sudah mendapat pengaruh tradisi di California. Dalam kasus Adonara hal seperti ini terjadi pada diri anak-anak yang tidak lahir di Adonara tetapi orang tua mereka berasal dari Adonara (curhat lageee), tidak bisa bahasa Lamaholot, tidak bisa kalau nasi diganti jagung titi, tidak bisa sole tapi ngotot jadi anak Adonara, atau menyebutnya dengan kalimat panjang; saya lahir di bla bla bla tetapi orang tua saya aslinya bla bla bla, dan saya lebih senang di sebut bla bla bla dan bla bla bla dan bla bla bla -___-''
Kemungkinan kedua di ajukan oleh Schiller (2004); terciptanya sebuah identitas global baru,,,,begini ceritanya; orang-orang Africa yang merantau ke Jerman mengalami diskriminasi sebagai penduduk di negara tersebut, mereka kemudian bergabung dengan sebuah gereja dan dengan etnis lain, nah dari gereja ini mereka kemudian menyatakan diri bukan lagi dalam etnisitas tetapi sebagai sesama pengikut kristus.
Dan kemungkinan ketiga adalah hilangnya desa, ini pernyataan yang paling bikin ngeri dari ibu Leontin. Ketika migrasi terjadi, orang-orang berpindah keluar negaranya, identitas baru terbentuk, maka terwujudlah apa yang disebut (Bell, 2006) bahwa desa hanya ada dalam imajinasi karena identitas mereka sendiri sudah tidak lagi asli dari desanya dan mereka juga sudah tidak lagi memiliki tanah dengan identitas desa yang asli tersebut. Keadaan ini juga kemudian hanya akan semakin mengukuhkan pendapat Copp (1972) bahwa desa dan perekonomian desa itu tidak ada. Contohnya Israel, tetapi contoh bagusnya ada Yunani, jadi tenang,,,,,Yunani adalah negara yang terbentuk dengan mendapatkan tanah dari PBB, tentunya setelah mereka bisa membuktikan identitas pribuminya dan hak pribumi mereka terhadap tanah tersebut.
kemungkinan lain, yang herannya tidak disebutkan di dalam kuliah ini adalah kemungkinan perang antar etnis yang terjadi di daerah tujuan migrasi seperti konflik antar etnis di Jakarta atau Batam, padahal sama-sama pendatang lho.
Jadi makin jelas sekarang, bahwa identitas yang terbentuk di desa itu dapat kita bawa kemana-mana sampai menyeberangi lautan dan tetap dapat di jalankan dan digunakan untuk mendapatkan penghormatan atas harkat hidup orang ber-identitas. Identitas itu juga saling bersentuhan dengan identitas lain yang membuat kemungkinan perubahan dapat terjadi. Misalnya; beberapa kemungkinan perubahan yang mulai di bicarakan tentang Adonara; kembali ke pola pemerintahan Lewo (ini mungkin saja, toh di atur oleh perda, seperti di Padang ada Perda Nagari) atau pembicaraan - pembicaraan tentang belis yang dilihat oleh beberapa orang harus di sesuaikan dengan keadaan saat ini, atau juga pembicaraan soal pertanian di Adonara
Nah, sampai disini dulu ,,,capek ngetik neh *_*
3 komentar:
kota yang heterogen itu dalam banyak kasus ternyata hanyalah kumpulan desa-desa. Orang kita, bukan orang kita, teman kita, bukan teman kita. Orang kota ini tetap terkerangkeng dalam identitas desanya. So, apa beda desa dan kota? Materil saja kah (gedung yang lebih tinggi, ada tugu-tugunya)?
Pertanyaan tersebut tentunya cuma kita sendiri yang bisa menjawab.Karna dari identitas dan image yang kita bangun itu tercipta identitas desa/kota. Tegaskan identitas desa, tegaskan kekuatan desa, dan bergerak mulai dari sekarang. Sendiri-sendiri memang cukup, lebih baik lagi kalau bersama-sama. Salam
Adonara is a beutiful place...
Posting Komentar