28 April 2013

Rasa penasaran - Krore - Dan jiwa itu

Sepertinya,,, kita memang tidak pernah berubah,
nafas yang ada di tubuh kita, adalah nafas yang sama yang sudah di tanam berjuta-juta tahun yang lalu, yang mengenali bentuk dan darahnya sendiri tanpa memerlukan penjelasan yang rasional karena semuanya sangat emosional.

Sewaktu kecil, aku sering bermain di tanah liar dan persawahan dekat rumah, tanah liar dan sawah itu sekarang sudah berganti dengan rumah-rumah kontrakan termasuk rumah kami. 
Tetapi kenangannya masih tetap abadi;
kenangan menyaksikan penduduk mengejar ular di sawah, 
menunggui pondok penghalau burung-burung pemakan padi,
mengganggui orang-orangan sawah karena otak mungil ku benar-benar berpikir bahwa orang-orangan sawah itu dapat hidup kalau di "colek" atau di "godain",
mengumpulkan daun pisang kering, menggulungnya dan membakarnya lalu menghisapnya layaknya om - om di lapau one yang menghisap rokok dengan sangat dewasa, sampai kami terbatuk dan sadar bahwa "rokok mungkin memang tak terbuat dari "daun pisang",
kenangan membuat markas romantis terbuat dari rumput-rumput tinggi di tanah tak bertuan dekat rumah, tempat melarikan diri dari mencuci piring dan tempat aku juga melarikan piring karena aku ingin menjadikan gua alang-alang itu sebagai rumah,

di dekat rumah alang-alang ku, aku sering mengumpulkan banyak daun-daunnan untuk ku masak dengan kompor buatan ku sendiri; kadang ku ambil beras mamak, dan juga sayurannya, kadang kubuat sayuran dari dedaunan dan buah-buahan di tanah tak bertuan itu (mungkin inilah penyebab kegagalan ku meningkatkan kualitas memasak, karena memang tak bisa bedakan sayur dengan rumput). Salah satu pohon dengan buah yang sangat banyak dan selalu terbuang adalah Mengkudu - Krore

Kecerdasan masa mudaku ku tidak paham buah itu mau di apakan, kalau di jadikan nenas baunya sangat tidak enak, kalau mau di tinggalkan dari skenario masak memasak sangat sayang, karena bentuknya agak unik dengan jerawat besar-besar, lagipula ini satu-satunya buah yang tidak menimbulkan keributan di antara kami, karena tidak ada yang mau memakannya. Percayalah, aku tidak memakannya karena tau, saat muda dan belum agak bau, buah itu tetap tak enak. Maka sampai disitu aku selesai, bahwa buah yang banyak di tanah tak bertuan itu hanya bisa digunakan untuk mainan saja.

Saat beranjak tua - katanya tua pasti dewasa belum tentu- aku mulai mendapat berita bahwa buah mengkudu itu dapat di konsumsi untuk mengobati beberapa penyakit. Akhirnya aku kadang membantui mamak memetik buahnya yang masih muda untk mamak jadikan jus, dia bahkan membuat jarakku dengan pohon mengkudu itu lebih dekat karena ia menanamnya satu di depan rumah. Sehingga setiap pergi dan pulang dari kampus aku selalu melihat pohon dan buahnya, sepertinya mengkudu memang tak punya musim, selalu saja berbuah.

Terakhir, kalau informasi yang kuterima tidak salah - kalau salah ya mangap - mengkudu atau yang di Adonara lebih dikenal dengan nama Krore, ternyata akarnya di gunakan sebagai bahan pewarna alami benang.

Salah satu ibuku  bahkan mengatakan;

" Tite ne krore taan kenirek jadi tite ake taan ta sembaran. Tau ne ti bebas, tapi untuk mengkudu ne susah"

Maka sekarang, kecerdasan masa mudaku menemukan jawaban atas rasa penasaran ku, tentang sesuatu yang telah lama kucurigai tak ada gunanya tetapi tetap menarik perhatianku. Akar Krore ternyata di gunakan untuk pewarna pada ikat di keluarga kami.


Sekarang cara ku melihat krore sudah sangat berwarna dan berbeda, 
sebuah proses perkenalan yang baru dengan krore, 
semakin dekat dengan rasa penasaran yang selalu ada di jiwa yang mungkin sudah dihembuskan sejak lama.