01 Mei 2010

Pekerja Seks Komersil Juga Manusia



Stigma negatif yang melekat pada diri seorang Pekerja Seks Komersil (PSK) sering menyebabkan beberapa pihak baik dari kalangan masyarakat maupun pemerintahan lupa bahwa PSK juga manusia yang pada dirinya melekat Hak Asasi Manusia (HAM).
Hal itu disorot para aktivis HAM, Pluralis dan Feminis dalam Foccuss Group Discussion (FGD) Realitas PSK dan penyikapan yang berperspektif HAM di Rumah Makan Suasso, Padang, Minggu 17/4. Kegiatan tersebut merupakan salah satu dari sepuluh rangkaian kegiatan FGD yang digelar PUSAKA (Pusat Studi Antar Komunitas) sebagai langkah awal membangun perspektif bersama terkait realitas dan penyikapan terhadap kelompok minoritas ekstrim yang ada di Padang.
Dari poyok menjadi tuna susila
Salah seorang staf Dinas Sosial (Dinsos) Ermansyah menyatakan “kami tidak menyebut mereka sebagai PSK tetapi tuna susila, karena mereka bukan pekerja melainkan orang-orang yang tidak memiliki susila atau moral”. Ditegaskan Ridho Satria dari Satpol PP “apakah kita sudah sepakat kalau PSK itu pekerjaan?kalau iya berarti kita sudah melegalkan”
Menanggapi peryataan tersebut, beberapa aktivis menolak penyebutan PSK sebagai poyok lewat putusan Rakor Gubernur dan juga penyebutan PSK sebagai tuna susila oleh Dinas Sosial Kota Padang. “Kalau PSK disebut sebagai tuna susila maka para koruptor juga harus disebut sebagai tuna susila” kata salah seorang peserta yang tidak mau disebutkan namanya. Para aktivis sepakat bahwa penyebutan tersebut terkesan melecehkan dan merendahkan PSK sebagai manusia. Sudarto, aktivis HAM dari PUSAKA menambahkan “saat ini kita memang sedang pada tahap memanusiakan istilah”.
PSK juga perlu sehat hidup berkarya
Sebagian dari kita mungkin akan langsung berfikir tentang perempuan pekerja seks ketika mendengar kata PSK, padahal PSK bukan hanya terdiri dari perempuan saja melainkan juga laki-laki, dan yang sering dibahasakan sebagai gender ketiga atau waria atau LGBT (Lesbi Gay Biseksual Transgender). “Fokus dampingan kami adalah kesehatan reproduksi (Kespro) laki-laki, kami mendampingi PSK laki-laki yang pelanggannya laki-laki atau sering kami sebut sebagai lelaki seks lelaki” ungkap aktivis kespro laki-laki yang tidak mau disebut namanya.
Direktur LENTERA, David, mengungkapkan “Salah satu kebutuhan PSK yaitu untuk kesehatan” sementara dari pengakuan aktivis-aktivis yang terlibat dalam bidang kespro, bahwa PSK terlebih dari kelompok gender ketiga sering merasa tidak nyaman ketika akan memeriksakan kesehatannya hal ini terkait identitas mereka sebagai jenis kelamin yang tak diakui negara dan respon negatif dari petugas kesehatan yang sering melecehkan para pengidap HIV Aids atau Penyakit Menular Seksual (PMS). Disampaikan Ikhsan aktivis gerakan kesetaraan gender, bahwa PSK mengalami problema kompleks, ketika ia akan memeriksakan kesehatan dia tidak mendapatkan pelayanan yang sama dari pemerintah, ketika akan bekerja dalam bidang lain mereka pun mengalami masalah, di bidang hukum mereka pun di batasi dan dilingkungan sosial mereka juga tidak diterima dengan baik.
Sudarto dari Pusaka menyampaikan, bahwa persoalan kemudian adalah bagaimana agar realitas kompleksitas PSK yang terjadi di Padang dapat kita bicarakan dalam forum yang lebih fokus oleh seluruh elemen masyarakat di Padang, supaya “jangan sampai penyakitnya lain obatnya lain” dan penyikapan terhadap realitas PSK ini dapat berperspektif HAM, minimal paling tidak adanya protap yang jelas dan tidak ada diskriminasi.
(nel)